Lazio secara resmi menunjuk Vladimir
Petkovic sebagai pelatih baru musim 2012/2013. Pelatih asal Bosnia itu
menggantikan posisi Edy Reja yang meninggalkan I Biancocelesti akhir
musim lalu.
Petkovic menghabiskan banyak waktu sebagai pelatih di
Swiss. Setelah melalui AC Lugano, AC Bellinzona, Young Boys di Swiss,
Petkovic sempat berkarir di Turki bersama Samsunspor. Dan satu bulan
lalu, pelatih 48 tahun tersebut kembali ke Swiss dengan menangani FC
Sion sebagai pelatih interim.
Petkovic membantu Sion selamat dari degradasi lewat pertandingan playoff dengan catatan Sion mendapatkan pengurangan poin dari awal liga. Meski berjasa menyelamatkan Sion, Petkovic memutuskan untuk mencoba peruntungan di Serie A Italia bersama Lazio. Pelatih yang mengantarkan AC Bellinzona ke final Piala Swiss
2008 itu diyakini akan melakukan perubahan signifikan di staf
kepelatihan Lazio.
Lazio musim lalu finis di posisi keempat di
Serie A dengan torehan 62 poin dari 38 laga. Klub ibukota tersebut akan mulai
bermain di babak playoff Liga Europa. Berikut sekilas sepak terjang Mr Petkovic,..
Tak banyak yang tahu siapa Vladimir Petkovic sampai Lazio tampil impresif di musim ini.
Curriculum vitae-nya sebagai pelatih mungkin belum mentereng. Tapi karakternya sebagai individu mengundang decak kagum. Bahkan sepanjang kariernya sebagai pemain Petkovic tak pernah terpilih
ke dalam timnas negaranya, Yugoslavia. Di usia 25 tahun ia meninggalkan
Balkan dan melanjutkan kariernya di Swiss, baik sebagai pemain maupun
kelak sebagai pelatih, sampai kemudian ia memutuskan menjadi warga
negara tersebut.
Sebuah cerita menarik tentang pria kelahiran
Bosnia-Herzegovina itu adalah, ketika menjadi pelatih Lugano dan
Bellinzona, antara 2003 sampai 2008, ia mengisi hari-harinya sebagai
seorang relawan di sebuah organisasi sosial katolik, Caritas.
Saban
hari aktivitasnya dimulai dari jam 7 pagi. Dari rumahnya di Locarno, ia
berkeliling ke kantor-kantor lokal Caritas untuk melakoni tugasnya
sebagai relawan. Tanggung jawab utamanya adalah memberdayakan belasan
pemuda pengangguran untuk mengumpulkan barang-barang yang bisa
didonasikan ke pusat-pusat amal, juga mengusahakan agar mereka
mendapatkan pekerjaan. Petkovic baru bekerja untuk klub bolanya pada
pukul 5 sore, dengan memimpin sesi latihan.
Menurut cerita
seorang mantan atasannya di Caritas, Petkovic juga rajin mengisi waktu
luangnya dengan belajar guna meningkatkan lisensi kepelatihannya. Kepada
pemain-pemain baru Bellinzona, ia kerap menyarankan mereka supaya
mengisi rumah-rumah mereka dengan perabotan dari Caritas, hitung-hitung
sekalian beramal.
Maka Petkovic tahu betul apa itu kerja keras,
karena ia melakukannya delapan jam sehari sebagai relawan, sebelum
berlanjut ke lapangan menjelang senja. Ia menanamkan itu pada
pemain-pemainnya di Lazio, bahwa tidak banyak alasan untuk mengeluh
lelah, karena buat dia, bertanding dua kali dalam seminggu tidak
seberapa banyak.
Dalam pekerjaannya sebagai pelatih, Petkovic
membawa Bellinzona finis nomor dua di kompetisi Divisi II Liga Swiss di
tahun 2007. Mereka gagal promosi hanya karena kalah di
playoff dua
leg dari Aarau. Tapi di musim berikutnya Bellinzona berhasil naik kasta dan juga mencapai final Piala Swiss.
Figur
Petkovic mulai lebih dipandang. Klub besar Swiss, Young Boys,
merekrutnya pada Agustus 2008, yang membuatnya terpaksa memutuskan
berhenti dari pekerjaannya sebagai relawan. Dua musim berturut-turut
Young Boys diantarnya menjadi
runner-up liga.
Tiga tahun
yang sukses di Swiss tidak otomatis menaikkan peruntungan Petkovic saat
menukangi klub Turki, Samsunspor. Ia hanya bertahan setengah musim dan
mengundurkan diri pada Januari 2012, setelah tim arahannya berkutat
dalam ancaman degradasi.
Ia berada di
bench lagi di
bulan Mei setelah diminta klub Swiss yang lain, Sion, untuk
menyelamatkan mereka dari jurang degradasi. Ia berhasil dalam misi
tersebut, dengan memenangi dua pertandingan
playoff.
Pihak
Lazio kemudian mengundangnya untuk bertemu di akhir musim lalu.
Kabarnya, bos klub, Claudio Lotito, langsung terpesona dengan karakter
Petkovic. Aktivitasnya sebagai relawan gereja diyakini ikut meyakinkan
Lotito untuk merekrut pria kelahiran 15 Agustus 1963 itu.
"Tidaklah
biasa ada orang yang bekerja di dunia sepakbola tapi juga bekerja
selama bertahun-tahun untuk Caritas. Saya percaya, para pesepakbola
jangan dipandang hanya sebagai pemain, tapi juga sebagai orang-orang
yang harus dipelihara secara spiritual. Saya memilih Petkovic dengan
alasan ini. Tidaklah baik cuma menilai manajer dari hasil pertandingan
saja, karena itu bukan semata-mata tergantung dia, tapi juga dari
hal-hal lain," demikian Lotito.
Sesungguhnya ada alasan lain
kenapa Lotito memilih Petkovic. Orang ini tidak keberatan digaji lebih
rendah dari yang terakhir ia dapatkan di Turki. Lazio cukup membayarnya
600 ribu euro atau sekitar Rp 7,7 miliar per tahun.
Tapi tetap
saja, tifosi Lazio pada awalnya bersikap skeptis pada Petkovic. Mereka
perlu bukti, apa yang bisa dihasilkan oleh pelatih tidak terkenal itu.
Bukti
itu diperlihatkan Petkovic dengan membawa Lazio memenangi tiga laga
pertamanya di awal musim: atas Atalanta, Palermo, dan Chievo. Dan itu
adalah start terbaik Lazio sejak musim 1974/1975.
Sikap skeptis
Laziale
perlahan-lahan berubah setelah Stefano Mauri dkk. bermain baik -- dan
saat ini duduk di peringkat tiga klasemen Serie A sementara. Bahkan mengandaskan peluang
Juventus untuk merebut titel di
Coppa Italia.
"Ada
hubungan yang baik di antara kami, saya dengan para pemain. Saya bisa
membuat keputusan yang tepat ataupun keliru. Tapi yang penting adalah
kita bisa tetap rendah hati dan kompak," tutur Petkovic suatu ketika,
tentang filosofinya dalam menukangi sebuah tim.
"Sebuah rumah
harus dibangun dengan banyak fondasi. Kami punya itu dalam pertahanan,
dan penyerang-penyerang kami adalah pertahanan pertama. Setiap orang
harus mengorbankan dirinya untuk tim. Kalau sudah begitu, maka kita
sudah menemukan sebuah keseimbangan."
Dari segi taktik, Petkovic
juga memiliki keterbukaan. Sebelumnya ia cenderung menyukai pola
penyerangan dengan skema 3-4-3. Tapi, setelah mempelajari
kekuatan-kelemahan yang dimiliki Lazio, ia keluar dari kebiasaannya dan
memilih pola 4-5-1, dengan Miroslav Klose sebagai penyerang tunggal.
Filosofi
lain Petkovic adalah seperti yang ia katakan di awal perekrutannya
sebagai arsitek Lazio. Dia bilang, "Seorang pemenang adalah mereka yang
tidak tahan dengan kekalahan. Dan saya adalah seorang pemenang."
Petkovic
bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mempelajari video pertandingan
terakhir tim yang akan ia hadapi, untuk mencermati setiap pergerakan
pemain-pemainnya, dan mencari kelemahan-kelemahannya. Sewaktu di Young
Boys, jika timnya kalah ia bisa mengunci diri sepanjang malam untuk
melakukan analisis secara menyeluruh.
Salah satu pemain yang
mengakui kejelian Petkovic adalah Hernanes. Di era pelatih sebelumnya,
Edy Redja, pemain Brasil ini lumayan sukses bermain sebagai
trequartista. Namun, Petkovic menggesernya lebih ke belakang, menjadi
seorang
deep-playing playmaker, kembali ke sentral lini tengah,
seperti posisi awalnya di Sao Paulo. Dan Hernanes mengakui dirinya bisa
berkontribusi lebih besar dengan peran tersebut.
Apabila Lazio
mampu menjaga performa bagusnya sampai akhir musim, adalah logis apabila
pamor Petkovic pun akan terus menjulang. Jika kemampuan berbahasa
adalah sebuah faktor penting, laki-laki ini bahkan menguasai delapan
bahasa: Bosnia, Serbia-Kroasia, Italia, Prancis, Inggris, Spanyol,
Jerman, dan Rusia.